Sabtu, 30 April 2011

Air Mata Ibuku Semangkuk Sup Ayam By. MAriska Uung

Diposting oleh eva yuanita di 4/30/2011 07:49:00 PM
Miranti pergi sendiri dan duduk termenung di sebuah meja restoran. Tidak seperti biasanya ia pergi sendirian. Apalagi hanya untuk makan di sebuah restoran. Sangat tidak etis baginya kalau ke mana-mana harus sendirian. Minimal harus ada satu orang yang menemani, baik itu suaminya, Maya anak perempuan semata wayangnya yang masih berusia enam tahun atau salah satu teman karibnya.
Dilihatnya daftar menu, dan ia bingung hendak memesan apa. Dibilang lapar pun juga tidak. Entah setan apa yang membuatnya refleks memasuki restoran itu.
Setelah membaca daftar menu bolak-balik, tidak ada satu pun yang bisa membuatnya tertarik. Sup ayam? Sepertinya aku butuh itu untuk menghangatkanku. Begitu batinnya meminta.
"Mbak, saya pesan sup ayamnya satu, ya," seru Miranti kepada pelayan restoran itu.
"Cuma itu saja, Bu? Nggak mau coba yang lain?" tawar gadis itu.
"Nggak," jawabnya dengan senyum. "Minumnya air putih saja," tambahnya, dan gadis itu langsung mengiyakan dengan menganggukkan kepala.
Sembari menunggu pesanan datang, ia melanjutkan keheningan itu lagi. Ponsel dalam tasnya bergetar. Ada panggilan, dari Yudi suaminya, namun diacuhkannya begitu saja. Ponsel itu terus bergetar, bergetar dan bergetar secara konsisten. Getaran itu akhirnya terhenti. Mungkin sudah lelah menunggu respon darinya. Dikeluarkan ponsel itu dari tasnya dan sudah tercantum lima panggilan tidak terjawab dari Yudi. Yudi juga mengirimkan pesan sms.***
 Ma, kamu di mana? Kok, pergi tidak ada kabarnya?
Perhatian itu tetap saja diacuhkan. Bukan karena ia benci pada Yudi. Malahan, Yudi terlalu baik. Ia menundukkan kepalanya dan meneteskan airmata.
"Permisi, Bu. Ini supnya." Gadis yang sama mengantarkan pesanannya.
Miranti buru-buru menghapus airmatanya. "Oh, iya. Terima kasih."
Ia boleh sedikit mengurut dada. Setidaknya gadis pelayan itu tidak menanyakan mengapa ia hampir menangis. Lokasi tempat duduk yang dipilihnya juga sudah sangat strategis. Di pojok kiri belakang, sehingga tidak menjadi pusat perhatian orang banyak. Ia sudah merencanakan semuanya itu.
Baru saja ia berniat memasukkan sesendok kuah dan irisan wortel itu ke dalam mulutnya selagi masih hangat, namun terasa begitu berat. Dikembalikannya lagi letak sendok itu. Bukan karena faktor perut kenyang, melainkan hatinya sendiri yang sedang gundah. Airmata itu keluar lagi dan tetesannya terjatuh ke dalam mangkuk sup itu
Penculik sialan! Gara-gara dia aku nggak bisa melihat Melisa. Melisa yang seharusnya berada di sisiku sekarang. Melisa yang seharusnya sudah mulai bertumbuh menjadi anak yang pintar dan cantik. Kamu di mana, Nak?
Hatinya semakin teriris dan pedih. Kejadian beberapa tahun lalu silam itu masih terus dikenang, dan tak akan pernah terlupa. Sampai sekarang.
Bagaimana tidak, penculik yang hingga kini masih misterius itu telah menculik anak perempuannya yang dulu masih berusia dua tahun di sebuah mal. Polisi tidak mampu melacak jejak sang biadab itu. Ia kecewa. Sungguh kecewa pada semua orang, termasuk dirinya sendiri yang ia anggap tidak mampu menjaga putrinya dengan baik. Nuraninya mengatakan darah dagingnya itu masih hidup.
Tangisan tanpa suara itu terus berlanjut dan terus memenuhi isi dari mangkuk sup itu. Miranti terus menutupi wajahnya agar tidak ada satu pun orang yang melihat. Pandangannya hanya mengarah pada semangkuk sup ayam itu. Sup yang tadinya ia pikir bisa menghangatkan tubuh dan pikiran, kini sudah perlahan mendingin. Entah mengapa pula, hari ini, kerongkongannya memerih sehingga setiap meneguk ludahnya sendiri pun terasa sakit. Andai, andai saja putrinya yang hilang diculik itu masih bersamanya, tentulah hari ini ia akan meniup lilin di kue tar ulangtahunnya yang kesekian kalinya.
Namun kini bagai nasi yang sudah telanjur menjadi bubur. Anak berwajah manis berpipi montok itu entah di mana. Dari hari ke hari ia menangis dalam penyesalan. Dan tepat hari jadinya seperti sekarang, maka airmatanya akan tumpah tanpa terbendung!
Ada sepatah suara dari pengunjung lain yang mengagetkannya. Disentuhnya mangkuk sup ayamnya dengan hati belah. Sup itu sudah dingin sama sekali bercampur basir airmatanya. Ah, betapa tidak adilnya dunia ini terhadapnya ketika mereka merampas buah hatinya nan mungil dan lucu.***
Melihat airmatanya sendiri jatuh berhamburan di atas sup, mendadak ia teringat akan sang Bunda yang telah meninggalkannya selamanya tujuh tahun silam. Otak kecilnya membawanya kembali ke masa kecilnya. Masa kecil yang ia anggap biasa dan tidak ada istimewanya sama sekali, namun hanya satu yang ia anggap berharga, yaitu sang Bunda. Persis sekali seperti saat ini ketika ia melihat airmatanya jatuh ke atas permukaan sup, begitu pula ibunya juga melakukan hal yang sama dengan sup ayam hangat yang dibuat oleh tangannya sendiri. Bukan karena kesengajaan, namun saat itu sang Bunda sedang dalam keadaan emosi. Emosi lantaran Miranti membuat kesalahan yang begitu besar dan menyebabkan ibunya menangis sesenggukan, sehingga airmatanya terjatuh di atas sup ayam yang dibuatnya untuk Miranti.
Entah kesalahan besar apa yang dibuatnya, ia sudah lupa akan itu. Hanya kejadian yang berhubungan dengan sup ayam itu yang diingatnya. Sup ayam itu menjadi dingin. Sang bunda meninggalkannya sambil tetap dalam keadaan menangis. Miranti kecil menyesal dan meratapi kesalahannya sendiri. Diraihnya sup ayam itu dan dihabiskannya walaupun sudah dingin dan bercampur airmata Bunda. Ketika ia melahap sup itu, ia bisa merasakan hati seorang ibu yang pengorbanannya begitu besar.
Tangisannya semakin deras meskipun ia sudah berusaha sekuat tenaga menahannya.
Mama, aku kangen sama Mama. Aku nggak kuat menghadapi ini tanpa Mama.
Dadanya terasa sesak karena batinnya terus menjerit. Dilihatnya jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 15.00. Ia harus pulang ke rumah. Maya pasti menunggunya di rumah. Dikeluarkannya compact powder dan dirapikan hiasan make upnya yang agak luntur karena tangis. 
Sup ayam itu masih utuh. Disantapnya meskipun hanya sesendok. Rasanya sama persis ketika ia masih kecil. Rupanya, karya tangan ibunya bisa menyaingi karya tangan koki di restoran. Ia juga membayangkan kalau saja Melisa yang kini ada di sisinya, mungkin darah dagingnya itu yang akan memakan sup itu. Lalu, mengapa juga saat ini hatinya bisa merasakan kedekatan dengan Melisa? Rasa kangen itu pun mulai menderanya kembali. Ditinggalkannya selembar uang limapuluh ribuan di bawah gelas yang berisi air putih itu sebagai tanda pembayaran. Dengan masih menundukkan kepala, ia meninggalkan tempat itu.
Pelayan yang tadi datang menghampiri meja itu lagi, dan berniat membereskan meja, berteriak spontan. "Bu, Bu. Kembaliannya belum dikasih."
Miranti tak menyahut, terus saja melangkah membuka pintu restoran dan keluar. Panggilan gadis yang telah lamat itu di telinganya itu tak ditanggapinya sama sekali. Tak diindahkannya uang kembaliannya yang terlalu banyak tersebut. Hatinya galau, dan ia ingin menangis sepuas-puasnya tanpa terlihat. Ia menuju ke tempat parkir mobilnya. Tak lama berselang, deru mesin mobilnya membelah keheningan malam.***
Seorang gadis kecil berusia jalan sepuluh datang menghampiri pelayan itu. Gadis gembel itu menadahkan tangan kanannya sebagai ungkapan permintaan. "Kak, aku boleh minta supnya?"
Pelayan itu iba melihat gadis kecil yang sepertinya begitu kelaparan. Badannya kurus, mukanya kusam dan baju yang dikenakan pun sepertinya tidak layak pakai. Sudah ada robekan di mana-mana. Ia pun tersenyum, dan berkata ramah.
"Tunggu sebentar, ya. Kakak pindahkan ke plastik dulu. Jadi, kamu bisa bawa pulang."
"Hei, kamu!" panggil seorang satpam restoran dengan suara galak. "Lagi-lagi kamu, Gembel!" 
"Ampun Pak, ampun! Saya belum makan dari kemarin. Saya cuma minta makanan bekas saja," ujar bocah perempuan itu sambil menangis, dan lari bersembunyi di balik tubuh pelayan baik hati itu.
"Sudah, Pak. Nggak apa-apa. Benar, Pak. Anak ini nggak macam-macam, kok. Saya cuma mau kasih dia makanan bekas ini saja. Punya salah satu pelanggan kita tadi yang tidak termakan habis. Sayang kalau dibuang," ungkap pelayan itu.
Si Satpam pun berhasil diberi pengertian. Tampaknya sup ayam itu berjodoh dengan gadis kecil yang malang itu. Setidaknya hari ini ia wajib bersyukur karena bisa mendapatkan makanan untuk mengganjal perutnya.
Dan mungkin merasakan hangatnya masakan seorang bunda yang sudah tidak pernah didapatkannya lagi sejak tinggal bersama 'keluarga baru'-nya di salah satu wilayah kumuh kota. Ya, dulu. Dulu sekali. Ketika pijar kenangan yang sudah mulai memudar dari otak kecilnya menyeretnya ke sederetan perumahan mewah nun jauh di ujung sana. ©

0 komentar:

 

♥Bu Eva Journal♥ Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting